Layanan Notaris PPAT Bandung | GHABS : WA 082117482622

Syarat Balik Nama Tanah Warisan.

Balik Nama tanah warisan dikelompokan :
1. Sertifikat masih terdaftar atas nama Pewaris dan akan dibalik nama ke seluruh ahli waris
2. Sertifikat masih terdaftar atas nama pasangan pewaris (suami/isteri pewaris)

1. Sertifikat masih terdaftar atas nama pewaris.
1. Surat Keterangan Kematian
2. Surat Keterangan Waris
3. Surat Nikah
4. Kartu Keluarga
5. Akte Kelahiran Ahli Waris
6. Pembayaran BPHTB Waris
7. Pembuatan Akte Pembagian Harta Bersama di Kantor PPAT
8. Balik Nama Menjadi Nama Seluruh Ahli Waris


2. Sertifikat masih terdaftar atas nama pasangan pewaris (suami/isteri pewaris) 1. Surat Keterangan Kematian 2. Surat Keterangan Waris 3. Surat Nikah 4. Kartu Keluarga 5. Akte Kelahiran Ahli Waris 6. Pembayaran BPHTB Waris 7. Surat Pernyataan Pasangan Pewaris & Ahli Waris 8. Pembuatan Akte Pembagian Harta Bersama di Kantor PPAT 9. Balik Nama Menjadi Nama Seluruh Ahli Waris

Siapa yang Mendapat Hak Waris
Hukum waris di Republik Indonesia masih terdapat 3 (tiga) sistem hukum waris yaitu:
1. Sistem hukum waris berdasar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
2. Sistem hukum waris secara berdasar Hukum Islam
yang terbagi dalam beberapa mashab, yaitu:
a. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Syafei
b. Perhitungan waris berdasarkan Mashab Hambali
c. Perhitungan waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
3. Sistem hukum berdasar Hukum Adat

Pembahasan kita kali ini adalah sistem pewarisan menurut hukum perdata Barat, yang terutama berlaku untuk warga negara Indonesia yang beragama selain Islam, atau yang bagi yang beragama Islam namun “menundukkan ” diri ke dalam hukum pewarisan perdata Barat.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum perdata barat (untuk selanjutnya akan lebih mudah jika kita sebut “BW” atau Burgerlijk Wetboek”, prinsip dari pewarisan adalah:
1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (pasal 830 BW)
2.Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (pasal 832 BW)
Sebagai konsekwensi dan kedua hal tersebut maka, dapat diartikan bahwa dalam hal pemilik harta masih hidup, dia tidak dapat mewariskan apapun kepada ahli warisnya. Sehingga, dalam hal terjadi suatu pemberian atas suatu barang kepada keturunannya yang ditujukan agar keturunannya dapat memiliki hak atas barang tersebut setelah meninggal dunia (dalam bentuk hibah misalnya) maka hal tersebut dianggap sebagai “Hibah Wasiat”. Dimana barang tersebut baru beralih pada saat pemberi hibah telah meninggal dunia.. Dalam hal pemberian barang tersebut diberikan pada saat si pemberi barang masih hidup, tanpa diberikan suatu imbalan berupa uang, maka hal tersebut disebut sebagai “Hibah” saja. Mengenai hibah ini akan saya bahas lebih detil pada section tersendiri.
Kembali lagi kepada prinsip pewarisan, yaitu mengenai “hubungan darah”/ Berdasarkan Prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung. maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris adalah:
1. Golongan I, yang terdiri dari: suami/isteri yang hidup terlama dan anak2 serta cucu (keturunan) pewaris (dalam hal anak pewaris meninggal dunia). (pasal 852 BW)
2. Golongan II adalah: orang tua dan saudara kandung dari pewaris termasuk keturunan dari saudara kandung pewaris. (pasal 854 BW) Golongan II ini baru bisa mewarisi harta pewaris dalam hal golongan I tidak ada sama sekali. Jadi, apabila masih ada ahli waris golongan I, maka golongan I tersebut “menutup” golongan yang diatasnya
3. Golongan III :
Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris (pasal . Contohnya: kakek dan nenek pewaris, baik dari pihak ibu maupun dari pihak bapak. Mereka mewaris dalam hal ahli waris golongan I dan golongan II tidak ada
4. Golongan IV
-Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu
-keturunan paman dan bibi sampai derajat ke enam dihitung dari pewaris
- saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat ke enam di hitung
dari pewaris.
Bagaimana dengan anak angkat?
Karena prinsip dari pewarisan adalah adanya hubungan darah, maka secara hukum anak angkat atau anak tiri (yang bukan keturunan langsung dari pearis ) tidak berhak mendapatkan warisan secara langsung dari pewaris. Namun dimungkinkan bagi anak angkat tersebut untuk menerima warisan dengan cara pemberian Hibah atau “Hibah wasiat” (pasal 874 BW).

Proses Balik Nama Karena Pewarisan

Pada artikel sebelumnya sudah disinggung mengenai istilah Balik Nama dalam hubungannya dengan transaksi Jual Beli tanah. Dalah hal jual beli tersebut hanya menyangkut Jual Beli dari pihak penjual kepada pihak pembeli dengan kondisi si penjual masih hidup, maka proses yang terjadi cukup dalam satu tahapan saja, yaitu proses balik nama dari penjual dan ke pembeli.

Bagaimana halnya apabila nama pemilik yang tertera di dalam sertifikat tersebut sudah meninggal dunia ?

Untuk hal ini memerlukan suatu tahapan lagi sebelum dilakukannya balik nama. Dengan meninggalnya si pemilik sedangkan tanah tersebut hendak di jual oleh para ahli warisnya, maka harus dilengkapi dengan Surat Keterangan Waris. Surat Keterangan Waris ini bisa kita urus di Kelurahan/Kecamatan setempat dengan melampirkan surat kematian dari almarhum.

Selanjutnya dilakukan proses Balik Nama Waris oleh Kantor Pertanahan setempat, yaitu balik nama yang dilakukan dari nama almarhum kepada nama para ahli waris yang ada yaitu isteri beserta anak-anaknya. Sehingga nantinya akan tercantum nama para ahli waris tersebut di dalam sertifikat. Setelah adanya Balik Nama ke para ahli waris tersebut barulah di proses balik namanya kepada Pembeli. Pada akhirnya nama Pembeli akan dicantumkan pada sertifikat dengan mencoret nama para ahli waris yang ada sebelumnya.

Ada kewajiban tambahan bagi Pihak Penjual (selain pembayaran Pajak Penghasilan) dalam hal ini yaitu pembayaran Pajak Waris. Hal ini diatur dalam PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2000 TENTANG PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT .

Pasal 2 dari Peraturan Pemerintah ini menyatakan :
‘Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.’

Jadi sebelum semuanya diproses lebih lanjut maka Penjual juga diwajibkan untuk membayar Pajak berdasarkan perolehan hak yang diperolehnya karena kewarisan.

Mengacu kepada ketentuan perundangan pendaftaran Tanah di Indonesia yang ketentuan pelaksanaannya sebagaimana yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah telah mengkonstruksi norma-norma pendaftaran tanah di masyarakat, antara lain:

Pertama, tahapan pemeriksaan berkas permohonan, mengkonstruksi norma keaktifan anggota masyarakat dalam membuktikan dirinya sebagai pemilik yang sah atas suatu bidang tanah. Termasuk dalam hal ini kesediaan anggota masyarakat memanfaatkan jasa PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah), yang aktanya bermanfaat dalam memperkuat pembuktian kepemilikan atas tanah.

Kedua, tahapan pembayaran biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah, mengkonstruksi norma kesediaan anggota masyarakat membayar biaya pengukuran dan pendaftaran hak atas tanah.

Ketiga, tahapan penelitian data yuridis, mengkonstruksi norma ketelitian anggota masyarakat dalam menyiapkan alas hak atau bukti awal pemilikan tanah.

Keempat, tahapan pemeriksaan lapangan tentang kebenaran data yuridis, mengkonstruksi norma:
(a) kejujuran anggota masyarakat dalam membuktikan kebenaran kepemilikan tanahnya;
(b) kepedulian anggota masyarakat yang berbatasan dan berdekatan dengan pemilik tanah untuk bersedia memberikan informasi tentang tanah dimaksud.

Kelima, tahapan pengukuran bidang tanah untuk mengumpulkan data fisik, mengkonstruksi norma:
(a) kesediaan pemilik tanah (anggota masyarakat) memasang tanda batas untuk menandai bidang tanah yang dimilikinya;
(b) kesediaan pemilik tanah untuk berinteraksi dengan tetangga batas dalam penetapan batas bidang tanah, sebagai konsekuensi asas contradictoir delimitatie;
(c) kepedulian tetangga batas (anggota masyarakat) untuk menghadiri penetapan batas bidang tanah ;
(d) pengakuan pemilik tanah terhadap hasil pengukuran oleh petugas kantor pertanahan.

Keenam, tahapan pengumuman data yuridis dan data fisik, mengkonstruksi norma apresiasi (penghormatan) anggota masyarakat terhadap informasi pertanahan.

Ketujuh, tahapan pembukuan hak, mengkonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap budaya tulis atau budaya catat di bidang pertanahan, terutama yang berkaitan dengan pemilik tanah.

Kedelapan, tahapan penerbitan sertipikat hak atas tanah, mengkonstruksi norma apresiasi anggota masyarakat terhadap hak dan kewajiban masyarakat sehubungan dengan telah dibuktikannya pemilikan atas suatu bidang tanah.
Kesembilan, tahapan penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon, mengkonstruksi norma kehati-hatian anggota masyarakat dalam menyimpan alat bukti yang kuat bagi pemilikan atas suatu bidang tanah.

Kesepuluh, tahapan paska penyerahan sertipikat hak atas tanah pada pemohon, mengkonstruksi norma kemampuan anggota masyarakat memanfaatkan sertipikat hak atas tanah yang ada padanya.

Prev
;;